GARA – GARA BANTUAN
Mentari baru
menampakkan dirinya. Hembusan angin pagi dan kicauan burung menambah kemeriahan
di pagi hari. Dengan sepeda tua dan tas kulit lusuhnya Pak Saleh menelusuri
jalan-jalan kampung menuju sebuah kantor Kepala Desa tempatnya bekerja. Ia
adalah seorang Kepala Desa di Kelurahan Rengas. Ia sangat disegani dan
dihormati oleh warganya. Karena ia adalah orang yang baik, jujur, disiplin,
bijaksana, dan selalu memperhatikan kehidupan warganya. Ia tidak pernah
membeda-bedakan antara warga yang kaya dan miskin. Ia juga sering memberikan
bantuan kepada warga yang tidak mampu. Seringkali ia pergi ke kantor kecamatan
dan kantor kabupaten untuk mencarikan bantuan untuk warganya dan seringkali
pula dia debat dengan Kepala Camat dan Kepala Kabupaten karena sering meminta
bantuan. Ia juga menyisihkan sebagian upah kerjanya untuk ditabung dan jika
jika sudah cukup akan dipakai untuk membangun sebuah panti asuhan. Kehidupan
sehari-harinya pun sederhana. Dengan rumah petak yang cukup untuk tidur dan
ruang tamu serta dapur saja. Tak jarang juga banyak warga yang datang untuk
memohon agar diberi pengarahan dalam mengajukan bantuan. Gaji yang tak seberapa
habis untuk biaya anak sekolah, biaya hidup, dan kadang kalau ada uang lebih
suka berbagi pada tetangga.
Sabtu
itu Pak Saleh libur ngantor dan biasanya kalau pagi-pagi suka didepan teras
minum teh dan menikmati udara segar. Tiba-tiba sepeda berhenti persis didepan
rumahnya.
“Assalamuallaikum,
Pak !” ucap warganya yang biasa dipanggil Mbah Wono sambil menyetandarkan
sepedanya.
“Wa’allaikumsalam
, Mbah. Mangga mlebet riki !” jawab Pak Saleh dengan tutur katanya yang lembut
berwibawa.
“Ngeten
Pak, saya ini mau menyekolahkan anak saya yang baru lulus SMP mau masuk SMA.
Tapi ini saya malah belum ada uang untuk mendaftarkan. Kalau mau mohon beasiswa
Pendidikan ten Kabupaten itu gimana ?” tanya Mbah Wono sambil menjelaskan
keluhannya.
“Gini
aja Mbah, njenengan buat surat permohonan untuk Pak Bupati dilampiri fotocopy
KTP keluarga, KK, kalau ada surat Askes atau Jamkesmas. Nanti diajukan ke
Kabupaten, atau nanti Mbah saya antar ke Kabupaten biar Mbah yang mengajukan.
Biar pihak Kabupaten tau sendiri,” jawab Pak Saleh panjang lebar.
“Woo.
. . ngih Pak, matur nuwun atas arahipun saya langsung pulang saja, Monggo . . .
Assalamuallaikum !” pamit Mbah Wono.
“Wa’allaikumsalam,”
jawab Pak Saleh kemudian masuk kedalam rumah.
Dari
kejauhan ternyata ada salah satu warga yang sengaja mendengarkan pembicaraan
Pak Saleh dan Mbah Wono. Dia itu yang sering dipanggil warga Pak Marta. Orang
yang syirik bila ada orang yang mendapat bantuan. Padahal hidupnya sendiri
sudah kecukupan, motor ada, rumah lumayan gedhe, usaha dagang Baksonya lumayan
laris. Itu semua juga berkat bantuan Pak Saleh, Lurah Desa yang mengajukan
permohonan modal untuk Pak Marta. Tetapi ia masih merasa kurang cukup terus.
Pikiran piciknya pun keluar, ia ingin mencoba seperti Mbah Wono. Memohon
bantuan Pendidikan untuk anaknya yang kebetulan juga telah lulus SMP.
Sore
itu matahari masih terlihat sinarnya. Pak Saleh pulang dari sawahnya, baru saja
meletakkan sepedanya terdengar deru motor dan berhenti persis didepan rumahnya.
“Kulonuwun
Pak,” sapa Pak Marta yang baru saja menyandarkan sepeda motornya.
“Njih-njih
monggo, mlebet !” sambut Pak Saleh sembari membawa masuk paculnya.
“Ngoten
Pak, kulo niki ajeng mathoske bantuan anak kulo. Trus kepripun nggih egranpun
?”tanya Pak Marta dengan mimik muka memelas. “O. . . niku, bukane panjenengan
niku mboten kere, mboten kekurangan lha kog ajeng njaluk bantuan !” jawab Pak
Saleh sambil nyengir-nyengir. “Lha? Kog mboten kere pripun to? Kulo niki nggih
termasuk wong susah dinggeh mangan sakbendinone we kurang-kurang “. Bantah Pak
Marta ketus.
“wo
ngoten, nopo Warung Bakso menika ingkang laris mboten ngasilake rejeki, motor,
sawah, omah ingkang magrong-magrong meniko mboten sanggup dingge mbiayai putro
panjenengan ?. menawi panjenengan ajeng ngajokake bantuan, tep ngih mboten
pareng. Wong panjenengan niku wong mampu !” tutur Pak Saleh terperinci. Dengan
muka memerah Pak Marta pamit pulang. Batinnya tersentak, dendam dengan apa yang
dikatakan Pak Saleh padanya.
Tak
lama setelah kejadian itu, Pak Marta mulai ngomong yang tidak-tidak kepada
warga setempat. Pak Marta menyebarkan isu-isu kepada warga kalau Pak Saleh itu
sekarang mulai sombong dengan jabatannya, sudah tidak peduli lagi dengan warga
miskin, nyatanya dirinya ditolak sewaktu mau meminta bantuan.
Ada
warga yang percaya, ada juga yang tidak.karena memang benar Pak Marta tidak
pantas diberi bantuan, karena memang sudah mampu. Tapi tak sedikit juga yang
percaya, dan mulai membenci Pak Saleh.
Seperti
biasanya Pak Saleh berangkat ke kantor, ditengah perjalanan Pak Saleh tak
sengaja mendengar pembicaraan warganya. Mereka membicarakan dan mencaci maki
dirinya. Pak Saleh tetap sabar, tak mempedulikan apa yang dikatakan warganya
itu.
Ternyata
hasutan Pak Marta telah berhasil meracuni warga setempat. Dengan senyum khasnya
yang licik, Pak Marta menemukan ide baru, ia ingin jadi seperti Pak Saleh,
menjadi Kepala Desa.
Pada
bulan itu harusnya bantuan untuk para petani sudah turun, tapi belum ada
kabarnya juga. Dengar kabar itu Pak Marta memanfaatkan keadaan yang ada. Ia
menyebarkan fitnah, kalau bantuan untuk para petani itu tak kunjung turun
karena dikorupsi oleh Kepala Desa Rengas, Pak Saleh. Mendengar itu, warga
sontak panas kacau, kalab,tidak berfikir panjang.
Sore
itu juga warga mendatangi rumah Pak Saleh, dengan membawa golok, pisau,
bambu,kayu, dan alat-alat yang lain.
“Saleh.
. . Saleh. . . metu kowe, dasar keparat !!! teriak warga. “Nek ora metu tak
bakar omahmu, “ Sahut warga. Pak Saleh keluar dengan diikuti istri dan anaknya.
“ wonten nopo niki?” Tanya Pak Saleh gemetar. “orasah rame, ayo seret Saleh
nang lapangan,” gertak Pak Marta. Dengan diseret warga, Pak Saleh hanya bisa
pasrah dan berdoa tidak tau duduk masalahnya seperti apah. Sesampainya di
lapangan Pak Saleh diikat disebuah tiang, tidak dijinkan tau apa sebenarnya
duduk masalahnya. Pak Wono yang mengetahui hal itu langsung melaporkan kepada
Pak Camat dan polisi.
Warga
sudah menghakimi Pak Saleh, ada yang memukul, menonjok, menendang, hingga Pak
Saleh tak berdaya. Pak Camat mendengar laporan dari Pak Wono, langsung segera
menuju tempat kejadian, dengan didampingi beberapa polisi, sesampainya di
lapangan polisi menembakkan pistol ke udara sebagai peringatan. Sontak warga
mundur, Pak Wono segera menolong Pak Saleh, dilepasnya tali dan didudukkannya
dipinggir lapangan. Warga hanya diam, hanya Pak Marta yang angkat bicara. “Pak,
Saleh menika Kades keparat, sampun mengkorupsi bantuanipun petani, terus petani
ajeng pripun Pak?” celoteh Pak Marta.
“Sinten
le ngomong Pak Saleh korupsi? Bantuanipun bener-bener dereng cair, wau sore
lagi entas cair. Dadi panjenengan-panjenengan nek mboten gadah bukti kuat niku
nggeh mboten pareng menfitnah ngoten niku. Sakniki sinten seng ajeng tanggung
jawab. Sinten seng mempelopori niki? Tanya Pak Camat. Serta Merta, Pak Merta
gelagapen. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Dengan celingak-celinguk ia
mengaku, bahwa ia yang memanas-manasi warga. Untuk kejadian ini, polisi pun
mengamankan Pak Marta, dibawanya ia ke kantor polisi.
Dengan pertolongan Pak Wono, Pak Saleh diantar ke
rumah sakit. Dua hari setelah kejadian itu Pak Marta terkena sangsi dengan
hukuman satu tahun penjara. Sedangkan warga berbondong-bondong datang ke rumah
Pak Saleh dengan banyak sekali makanan, untuk meminta maaf atas segala
kesalahan warganya. Pak Saleh nya tersenyum dan kembali dipercaya dimasyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar